Selasa, 13 Desember 2011

ektremisme

Alienasi orientasi hidup bangsa Eropa itu sangat bisa kita maklumi. Dalam sejarahnya, gereja lebih sering berseberangan dengan kaum cendekiawan rasional. Dan dari sejarah gereja di Eropa, kita bisa dengan sangat jelas menyimpulkan, bahwa agama Kristen, pada hakikatnya, jauh lebih fundamentalis dan ekstrimis dari yang mungkin kita duga sebelumnya.
Gereja Katolik Roma, sebagai lembaga terbesar dunia Kristen, dalam sejarahnya, telah mengalami begitu banyak sejarah kelabu yang membuat kita harus mengerutkan dahi karena ke-tak-bisa-dimengertiannya. Dalam sejarah, Gereja Katolik Roma seolah menjadi simbol resmi yang bersambung kepada Yesus Kristus, tetapi dalam fakta sejarah berikutnya, pandangan tersebut mungkin akan terasa tidak selaras. Dalam sejarah Gereja Katolik Roma, semua aliran yang mengatasnamakan Kristen, tetapi tidak sejalan dengan doktrin gereja, akan dimusnahkan tanpa ampun—bahkan dari catatan sejarah. Begitu banyak sejarah tentang hal itu, dan para sarjana Kristen pun tak menepisnya.
Di sisi lain, pada perkembangan selanjutnya, Gereja Katolik Roma justru berjalan terseok dengan joki-joki politik yang membingungkan umat. Paus di angkat dan di dukung secara politis oleh raja-raja Eropa, dan Paus yang lain di dukung oleh raja yang lain. Jadilah Gereja Katolik Roma telah beralih dari lembaga agama Kristen menjadi ‘negara Kristen’. Perebutan kekuasaan Paus menjadi satu poin sendiri dalam sejarah Gereja Katolik Roma.
Puncak dari dinamika-negatif Gereja Katolik Roma terjadi pada abad ke-16, ketika Martin Luther dari Inggris, pada tahun 1517, mengeluarkan 95 dalil Luther, yang intinya mengkritisi dan menelanjangi Gereja Katolik Roma sebagai lembaga yang telah menyimpang dari Alkitab karena pengaruh dunia. 95 dalil Luther itu kemudian menjadi embrio dari pergerakan ‘Protes’ gereja di Eropa berikutnya, yang akhirnya melahirkan sebuah lembaga gereja Kristen baru: Gereja Protestan!
Demikianlah, bahwa dalam sejarahnya, gereja Kristen telah mengalami dinamika yang negatif dalam berbagai konteks dan ukuran—dinamika internal, dan dinamika eksternal. Dinamika-negatif yang kemudian menjadi konflik intelektual berkepanjangan tentu saja dinamika gereja dengan kaum cendekia rasional yang selalu saling tarik menarik. Akhirnya, ujung dari dinamika-negatif ini, bangsa Eropa mengalami titik kebingungan orientasi, yang akhirnya melahirkan seorang Friedrich Nietzsche, dan kemudian Nietzsche-Nietzsche yang lain berikutnya.
SPIRITUALITAS: SEBUAH KEBUTUHAN
Dalam ungkapan yang satir, manusia adalah binatang yang berpikir. Karena itulah, manusia bukanlah binatang yang mampu hidup hanya demi tujuan dasar binatang: makan, istirahat & seks. Ada satu kebutuhan manusia yang membedakannya dengan binatang lain, yaitu berpikir! Dan puncak dari kebutuhan manusia itu adalah pertanyaan paling akhir seputar ‘apakah hidup ini’; ’siapakah kita’; ‘untuk apa hidup ini’ dan lain sebagainya.
Dari pertanyaan-pertanyaan kontempelatif itulah kemudian lahir ‘kesadaran-kesadaran’ konklusif, bahwa manusia adalah sebuah keberadaan yang kemungkinan besar ada karena diciptakan oleh Kekuatan Tinggi. Dari sinilah kiranya sangat dapat diterima, bahwa spiritualisme—yaitu segala hal yang berhubungan dengan ‘pertanyaan-pertanyaan tak terjawab’—lahir sebagai kebutuhan manusia yang sifatnya urgen, dan dalam konteks tertentu, menjadi bersifat primer.
Sipiritualitas adalah sebuah kebutuhan dasar manusia. Spiritualitas adalah kecenderungan alamiah manusia sebagai binatang yang berpikir.
TUHAN
Dalam kajian filsafat, ada beragam pemahaman dan kajian tentang Tuhan, yang tertuang dalam istilah aliran-aliran Filsafat. Karena memang banyak, tentu rumit membahasnya dalam forum seperti ini. Tapi pada dasarnya, konsep tentang Tuhan sangat mudah untuk di-’renung’-i.
Tuhan, dalam banyak bentuk pemahaman manusia, diyakini sebagai ‘Kekuatan Paling Tinggi’ yang menguasai kehidupan. Hal itu sangat mahfum dan umum, bahwa memang sangat mudah untuk memahami bahwa ada ‘hierariki-eksistensi’ dari kehidupan, yaitu mahluk dan Tuhan. Konsep ini sangat mudah untuk diterima dan membuat kita sangat nyaman. Adanya ‘Kekuatan Tinggi’ memberi kita rasa aman dari rasa takut akan berbagai kepayahan hidup: ketidakadilan, kesulitan-kesulitan, dan balasan-balasan perbuatan.
Tapi bagi saya sendiri, satu konteks pemikiran yang sangat simpel untuk menerima konsep tentang ‘Yang Maha Tinggi’ itu adalah: ‘Apakah kita?’ Kenapa ada kehidupan? Saya tak bisa memahami bahwa eksistensi kehidupan ini adalah sebuah ‘keadaan yang apa adanya’. Ya! APA adalah pertanyaan paling sederhana bagi saya untuk menerima konsep tentang ‘Yang Maha Tinggi’. Saya yakin, tak ada satu cendekiawan sekuler-pun yang mampu menjelaskan APA tersebut, selain terbatas pada lingkup: ‘Kebetulan’, ‘Keabadian Tanpa Awal-Akhir’, atau sejenisnya; dan yang paling mengenaskan, adalah manifesto sekuleris: ‘Tak Perlu Dipikirkan!’. Untuk manifesto demikian, saya hanya bisa berkata, saya tak mampu untuk tak berpikir, karena berpikir adalah kebutuhan saya. Saya butuh seks, saya butuh makan, tetapi itu belum cukup.
LEMBAGA AGAMA
Agama adalah kristalisasi pemikiran kolektif tentang spiritualitas. Terlepas dari tarik-ulur pembahasan apakah agama itu karya kultural manusia atau wahyu Illahi dari Sang Kosmos, agama bisa kita terima sebagai pengejawentahan pemikiran manusia akan spiritulitas, yang dituangkan dalam sekumpulan tata-laku pengaturan kehidupan, dan tata-laku penyembahan kepada Sang Kosmos. Darinya lahirlah doktrin-doktrin, yang mengikat anggota kolektif pengikutnya, dan lahirlah agama-agama formal yang melembaga.
Walaupun bagi tiap anggotanya, lembaga Agama formal—Islam, Kristen, dll—adalah sebuah jalan yang diberikan langsung oleh Tuhan melalui Juruselamat-Nya, tetapi bagi cendekiawan sosio-historis, agama formal tetap lebih cenderung dikaji sebagai produk kultural-kontempelatif manusia. Bagi saya hal itu sama sekali tidak masalah. Agama memang tidak terlepas dari dinamika kultural manusia.
Satu perenungan yang patut kita renungkan adalah bahwa, agama-agama di dunia, memiliki kesamaan-kesamaan visioner tentang hidup dan kemuliaan. Kesamaan-kesamaan ini agak susah dipahami jika disebut sebagai kebetulan, karena manusia tersebar dalam ringkup dimensi ruang yang amat luas. Kemungkinan yang paling bisa diterima adalah bahwa, kesamaan-kesamaan visi agama itu adalah wujud dari adanya ‘kecenderungan alamiah’ dari manusia untuk menuju pada spiritualitas, yang kemudian mengerucut menjadi pemelukan suatu agama.
Dari pendekatan inilah—bahwa kesamaan visi agama adalah wujud dari kecenderungan alami—dapat kiranya kita pahami, dengan cara inilah Tuhan mewahyukan Firman-Firman-Nya. Kemudian, karena komunitas manusia terus berkembang, maka lembaga agama ini mengalami dinamika sosial yang sangat kompleks, yang mengakibatkan terjadinya akulturasi bentuk antara doktrin agama dengan dinamika kreatif kultural manusia. Dinamika yang berlangsung selama ratusan dekade itulah, akhirnya melahirkan agama-agama yang masih tersisa hingga saat ini.
KRISTEN: PROBLEM TEOLOGIS DAN EKSTRIMISME
Doktrin utama agama Kristen mayoritas modern saat ini adalah Tritunggal, atau Trinitas. Walau merupakan doktrin resmi, selama berabad-abad, doktrin ini masih berada dalam altar problematik dalam teologi Kristen. Sarjana dan Cendekia Kristen ortodoks mencoba mencari jalan paling moderat dari problem ini dengan menafsirkannya sebagai misteri filosofis dari ke-Esa-an Tuhan, dan yang lain mencoba melakukan representasi-representasi ulang kepada ayat-ayat Alkitab. Tapi pada kenyataannya, doktrin Trinitas tetap berada pada titik kondisi dimana ‘tak ada sarjana Kristen yang tak kebingungan saat ditanya tentang doktrin ini’. Bagi umat di luar Kristen, atau bagi kalangan skeptis, beredar isu bahwa doktrin ini hanyalah wujud sinkretisme dari doktrin-doktrin agama pagan masa lalu, yang banyak menganut politeisme Tiga Wujud. Isu ini dihubungkan dengan Konsili Nicea pada tahun 325 yang mana dipimpin oleh Kaisar Konstantin Agung yang dalam sejarahnya, adalah seorang penganut Romawi pagan dengan tiga Dewa tertingginya. Karena demi memudahkan penerimaan Kristen bagi penganut pagan, maka Kaisar Konstantin membuat konsep Tiga ‘Tuhan’ dalam Kristen, yang dipaksakan untuk disepakati oleh uskup-uskup Kristen yang hadir dalam konsili waktu itu.
Problem Teologis tersebut kemudian menjadi pondasi paling rapuh dari Kristen, yang pada akhirnya membentuk Kristen menjadi agama yang doktriner, dan dalam beberapa konteks, kontempelatif—misal dalam hal kerahiban dengan laku selibat di dalamnya. Yang memprihatinkan, dalam satu kerapuhan pondasi itulah, justru ekstrimisme terhadap doktrin menjadi semakin kuat, dan pada akhirnya mengubah gereja Kristen menjadi gereja yang tidak toleran terhadap pemahaman Kristen yang berseberangan dengan pemahaman mayoritas. Hukuman mati bagi para bidat (pelaku bidah, para sempalan Kristen ’sesat’) adalah konsekuensi yang harus dilakukan oleh gereja demi menyelamatkan bangunan Kristen. Dan mengenai ekstrimisme ini, bila dibandingkan dengan ekstrimisme Islam, berani saya katakan lebih, karena beberapa alasan.
GNOSISME, GEREJA DAN SUFISME ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN
Dalam Kristen dikenal adanya ajaran/paham Gnosis, yaitu suatu paham mistisme Kristen, yang mendasarkan ajarannya pada teks-teks non-kanonikal ortodoks, atau mendasarkannya pada ajaran-ajaran yang berasal dari ‘luar Kristen’. Pada hakikatnya, Gnosisme mirip dengan Sufisme dalam Islam, namun ada satu perbedaan mencolok di antar keduanya. Apakah itu? Perbedaannya adalah, Gereja Kristen menolak Gnosisme sebagai bagian dari Kristen dan menganggapnya sesat, sementara umat Islam ortodoks/tekstual/mayoritas tidak pernah menganggap sufisme sebagai sesat. Pada satu titik ini bisa saya pahamkan kiranya, bahwa secara teologis-doktriner, Kristen lebih ekstrim daripada Islam.
EKSTRIMISME ISLAM KONTEMPORER DAN STIGMA GLOBAL
Pada abad ini, terjadi dinamika keagamaan dimana munculnya kelompok ‘ekstrimisme’ Islam yang melakukan kegiatan teror dibanyak tempat. Banyak orang kemudian menjadikannya titik tolak penilian negatif kepada bangunan Islam keseluruhan, dan secara internal, meruntuhkan mental integratif generasi muda Islam. Islam tidak damai, Islam keras, Islam berdarah; pemahaman itulah yang menjadikan generasi muda Islam minder dan memalingkan hatinya dari ruh pengakuan akan jatidiri Islam.
Fenomena ekstrimisme ini memang pelik, karena bagi mayoritas muslim di dunia, keberadaan ekstrimis Islam itu menjadi ’saus-ekstra-pedas’ yang dalam sekejap bisa membangkitkan rasa ‘perlawanan identitas’ terhadap barat, tetapi juga menyebabkan ’sakit perut yang berkepanjangan’. Umat Islam mayoritas tidak bisa menerima ekstrimisme fasis tersebut dan menganggapnya salah kaprah, karena tidak memberi akibat apapun kepada Islam selain kesalah-pahaman-paradigma yang amat merugikan.
Namun, pada intinya, di sisi lain, sebagai respon dari kesalah-pahaman global sebagai akibat ekstrimisme itu, umat Islam dengan tegas berusaha menjelaskan bahwa, esktrimisme itu bukan soal konflik teologis agama, tetapi konflik politis, murni konflik politis. Para ekstrimis Islam itu melakukan gerakan makarnya bukan menginginkan seluruh dunia menjadi Islam, tetapi hanya menuntut keadilan sosial dan kemanusiaan yang telah dirampas oleh barat dan komunitas non-Islam.
LIBERALISASI ATHEISTIK: SEBUAH KAJIAN
Adalah lucu, saat begitu banyak generasi muda Islam yang kurang nyaman dengan ke-Islaman-nya kemudian mengambil arah pemikiran kepada atheisme. Mereka mendasarkan pemahamannya pada sejarah Eropa dan pemikiran Eropa, padahal antara sejarah (Kristen) Eropa dan Islam sama sekali berlainan.
Kristen Eropa berlalu dengan konflik internal (teologis-politis) yang menyebabkan mereka menjadi komunitas yang memiliki ‘konflik kepribadian’ yang membingungkan, sementara Islam berlalu dengan kisah-kisah kejayaan yang akhirnya runtuh karena gesekan-gesekan politis dengan dunia luar—dalam hal ini Kristen dan Eropa.
Jadi, jika ada generasi muda Islam yang berdalil bahwa ‘Tuhan telah mati’ karena membaca tulisan Friedrich Nietzsche, patutkah dipahami bahwa Eropa memang benar-benar kehilangan arah, sehingga menyebarkan ‘pemikiran-pemikiran bias’-nya kepada seluruh dunia, bahkan di dunia yang jelas-jelas tidak pernah terjadi konflik antara lembaga agama dan cendekiawan seperti Islam.
Untuk apa lagi kita harus ‘pekewuh’ dengan Barat? Belajarlah ilmu saintifik dari mereka—karena saat ini mereka unggul disitu—tapi banggalah dengan identitas kita sebagai manusia Timur, dan sebagai umat Islam !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar