Minggu, 11 Desember 2011

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN


PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
A.    Prinsip-prinsip Organisasi
Titik tolak yang kiranya tepat digunakan untuk mencapai sasaran pembangunan administrasi dilihat dari aspek kelembagaannya ialah pemahaman tentang prinsip-prinsip organisasi dan penerapannya. Sepuluh prinsip yang menonjol adalah sebagai berikut:
1.      Kejelasan tujuan. Suatu organisasi termasuk negara, didirikan untuk mencapai tujuan. Para pakar pada umumnya menekankan bahwa: (a) tujuan merupakan “bintang penuntun”  yang memberi arah kepada semua kegiatan yang akan dilaksanakan kemudian, (b) tidak perlu dipersoalkan siapa yang menentukan tujuan tersebut, (c) penting menumbuhkan persepsi yang sama dari semua pihak tentang makna hakiki dari tujuan meskipun belum terdapat pemahaman secara mendetail karena sifatnya yang idealistik, jangkauan waktu yang jauh kedepan, dinyatakan secara kualitatif dan bentuknya pun masih abstrak, (d) terdapat kesepakatan bersama tentang layaknya tujuan untuk dicapai dengan mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan seluruh komponen organisasi, serta (e) kegiatan yang dilaksanakan kemudian berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan tersebut.
2.      Kejelasan misi. Misi merupakan langkah-langkah utama yang harus diemban dalam rangka pencapaian tujuan. Pada gilirannya, kejelasan misi akaan mempermudah manajemen untuk menyatakan visinya, menentukan strategi yang akan ditempuh, menyusun rencana yang diperlukan, serta menentukan program kerja semua satuan kerja dalam organisasi untuk kemudian dilaksanakan dengan sebaik mungkin.
3.      Fungsionalisasi. Kenyataan menunjukan bahwa organisasi pemerintahan merupakan organisasi yang besar. Besarnya organisasi tersebut berangkat dari banyaknya fungsi yang harus diselenggarakan,baik dalam arti pemberian pelayanan kepada masyarakat, pengaturan, maupun pembangunan.oleh karena itu, pembagian tugas antara berbagai satuan kerja dalam lingkungan organisasi tidak dapat dielakkan, pembagian tugas itulah yang harus didasarkan atas prinsip fungsionalisasi untuk menjamin bahwa semua fungsi yang harus diselenggarakan “terbagi habis” di antara berbagai satuan kerja yang ada, tidak ada fungsi yangketinggalan tanpa penanggung jawab yang jelas, salah satu hal yang sering terjadi terhadap fungsi tertentu yang akan dianggap tidak penting, perubahan atas fungsi yang dipersiapkan sebagai fungsi yang penting. Pemahaman prinsip fungsionalisasi menjadi lebih penting apabila diingat bahwa dalam banyak satuan kerja dalam lingkungan pemerintahan sering terdapat persepsi yang bersifat dikotomi yang mengatakan bahwa satuan-satuan kerja pelaksanaan tugas pokok lebih penting dari satuan-satuan kerja pelaksanaan kegiatan penunjang. Dengan pembangunan administrasi dikotomi seperti itu diharapkan bisa hilang.
4.      Pembagian tugas.
Karena banyaknya fungsi yang harus diselenggarakan oleh pemerintah denganseluruh jajarannya, salah satu konsekuensi penerapan prinsip fungsionalisasi ialah kejelasan dalam pembagian tugas. Prinsip ini sangat penting karena tidak sedikit tugas yang sangat spesialistik sehingga memerlukan deskripsi dan spesifikasi tugas yang sejelas mungkin, beban kerja yang harus dipikul tidak mungkin merata tapi berbeda-beda, kontribusi satuan kerja pelaksana tugas tertentu ke arah pencapaian tujuan tidak sama, persyaratan pengetahuan dan keterampilan yang dituntut dari dan harus dipenuhi oleh para pelaksana berbeda-beda pula, dan struktur organisasi harus disesuaikan dengan tuntutan tugas-tugas tersebut.
5.      Departementalisasi. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam pembagian tugas ialah apa yang dikenal dengan istilah “departementalisasi”. Artinya semua tugas yang harus dilaksanakan dikelompokan ke dalam “departemen”. Empat pendekatan dalam menggunakan cara ini ialah sebagai berikut.
a.       Pendekatan fungsional.
b.      Pendekatan produk
c.       Pendekatan pelanggan
d.      Pendekatan proses
6.      Keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab. Merupakan hal yang manusiawi apabila dalam kehidupan organisasionalnya, seseorang cenderung memperbesar wewenangnya dan memperkecil tangung jawabnya. Meskipun sifat demikian tidak dapat dibenarkan dilihat dari sudut pandang etika dan administratif, adanya kecenderungan tersebut harus dipahami. Untuk menghilangkan atau paling sedikit mengarungi kecenderungan itulah prinsip ini sangat penting sebab jika wewenang tidak diimbangi oleh tanggung jawab, kemungkinan menyalahgunakan wewenang akan makin besar. Sebaliknya jika dalam pelaksanaan tugasnya seseorang hanya dituntut bertanggung jawab  tanpa adiimbangi oleh wewenang bertindak, tidak mustahil timbul keraguan-keraguan. Kedua-duanya tidak kondusif dalam peningkatan kinerja organisasi.
7.      Kesatuan arah. Telah ditekankan di muka bahwa dengan kejelasan tujuan, segala sesuatu yang kemudian terjadi dalam organisasi harus diarahkan kepada pencapaian tujuan tersebut. Penerapan prinsip ini antara lain berarti bahwa efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja mutlak perlu ditingkatkan yang berarti adanya upaya agar tidak ada kegiatan yang mubazir dan agar langkah-langkah operasional yang diambil bukan untuk kepentingan individual atau kelompok melainkan demi kepentingan organisasi sebagai keseluruhan.
8.      Kesatuan komando. Prinsip ini biasanya dikaitkan dengan “sumber perintah” di satu pihak dan “jalur tangung jawab” di pihak lain. Artinya, seorang pelaksana tugas tertentu, tanpa membedakan apakah tugas itu bersifat manajerial atau teknis operasional, seyogyanya harus menerima perintah dari satu sumber, yaitu atasan langsungnya dan kepada atasan langsung itu pulalah yang bersangkutan mempertangungjawabkan pelaksanaan perintah yang diterimanya. Pentingnya penerapan prinsip ini bukan hanya ademi kejelasan perintah, akan tetapi juga agar para pelaksana tidak mengalami kebingungan, suatu hal yang tidak mustahil terjadi apabila berbagai eselon yang lebih tinggi dari atasan langsung itu turut memberikan perintah dan meminta pertanggungjawaban secara langsung pula.
9.      Kejelasan kebijaksanaan tentang pola pengambilan keputusan. Telah dikemukakan bahwa terdapat dua pola pengambilan keputusan, yaitu pola sentralisasi dan pola desentralisasi. Jika suatu organisasi menggunakan pola sentralisasi berarti bahwa semua keputusan diambil oleh para pejabat pimpinan puncak dalam organisasi yang bersangkutan dan satuan kerja serta para manajer tingkat bawah hanya berperan selaku pelaksana. Sebaliknya, jika pola desentralisasi yang diterpkan, para pejabat pimpinan pada eselon bawahan diberikan wewenang untuk mengambil keputusan. Pengalaman menunjukan bahwa sesungguhnya tidak ada organisasi yang menggunakan salah satu pola secara “murni”. Artinya, dalam praktek dengan pola sentralisasi hanya keputusan-keputusan yang strategis dan pentinglah yang masih diambil oleh eselon puncak sedangkan keputusan-keputusan yang rutin dan teknis operasional diserahkan pada eselon bawahan.
10.  Rentang kendali. Dengan motivasi kuat, loyalitas yang dapat diandalkan, disiplin kerja yang tinggi, rasa tanggung jawab yang besar, dedikasi dan rasa pengabdian yang mendalam sekalipun, pengawasan tetap diperlukan. Dasar pemikiran tentang tetap pentingnya pengawasan ialah karena diakui bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan pasti mempunyai keterbatasan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan. Karena itu tidak luput dari kemungkinan berbuat khilaf dan kesalahan.

B.     Pentingnya pendekatan kesisteman
Teori klasik organisasi menekankan organisasi sebagai wadah tempat berbagai kegiatan berlangsung. Sekarang pun teori ini masih berlaku karena suatu organisasi biasanya terdiri atas berbagai satuan kerja yang tanggung jawab utamanya adalah melaksanakan tugas-tugas tertentu yang adakalanya sangat spesialistik. Jumlah satuan kerja dalam organisasi pada umumnya ditentukan berdasarkan analisa beban kerja yang harus dipikul oleh organisasi yang bersangkutan. Akan tetapi meskipun pengertian organisasi sebagai wadah tetap berlaku, justru karena timbulnya tugas-tugas yang spesialistik tersebut, muncul ke permukaan pandangan yang mengatakan bahwa tidak kurang pentingnya untuk memahami bahwa organisasi dipandang sebagai proses kerja sama dan memerlukan interaksi, interrelasi, dan interdependensi antara semua satuan kerja yang ada. Alasan utamanya ialah bahwa betapapun tingginya dedikasi, besarnya loyalitas, mantapnya disiplin kerja, serta dalamnya pengetahuan dan keterampilan para pelaksana, tidak ada lagi tugas yang menjadi tangung jawab satu satuan kerja tertentu yang dapat diselesaikannya sendiri tanpa bekerja sama dengan satuan-satuan kerja yang lain. Dengan perkataan lain, terdapat dua perinsip dalam mengelola semua jenis organisasi dewasa ini, yaitu prinsip sinergi dan prinsip simbiosis mutualis.
Kesemuanya itu berarti bahwa organisasi modern, termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintahan, harus dikelola dengan pendekatan kesisteman. Pada dasernya, pendekatan kesisteman berarti bahwa bagaimanapun pembagian tugas dilakukan yang kemudian dilembagakan dalam berbagai satuan kerja baik yang sifatnya selaku pelaksana tugas pokok maupun tugas penunjang, semuanya harus bergerak sebagai kesatuan yang utuh. Pembagian tugas tidak berarti berpikir dan bertindak berkotak-kotak. Hal ini perlu penekanan kuat karena sering terdapat persepsi di kalangan orang-orang yang ditentukan pada satuan kerja tertentu yang menganggap bahwa satuan kerjanyalah yang terpenting. Karena terpenting lalu harus memperoleh dana, daya, tenaga, sarana, dan prasarana terbanyak. Jika presepsi demikian didasarkan pada keinginan kuat untuk keberhasilan pelaksanaan tugas, masih dapat dibenarkan. Hanya saja persepsi seperti itu tidak jarang menimbulkan sikap arogan yang tampil sebagai sikap tidak merasa perlu bekerja sama dengan satuan kerja lain. Satu persepsi dan sikap yang tidak tepat, untuk tidak mengatakan salah.
Hal lain yang kiranya perlu mendapatkan penekanan ialah
C.     Tipologi stuktur organisasi
D.    Mekanisme dan prosedur kerja
Pentingnya kejelasan mekanisme dan prosedur kerja  berkaitan erat dengan pengelolaan suatu organisasi dengan pendekatan kesisteman. Karena tiga alasan pokok:
Pertama: mekanisme dan prosedur kerja merupakan “peraturan permainan” yang harus ditaati dalam penyelesaian tugas lintas sektoral dan multidimensional. Karena ini menyangkut interaksi, interdependensi, dan koordinasi administrasi di samping berlaku secara internal dalam lingkungan satu-satuan kerja.
Kedua: kebenaran pandangan ini juga dilihat dari teori organisasi yang mengatakan bahwa dalam menjalankan roda suatu organisasi, harus terjawab pertanyaan-pertanyaan: (a) siapa yang melakukan kegiatan apa, (b) siapa bertanggung jawab kepada siapa, (c) siapa berinteraksi dengan siapa, (d) jaringan informasi apa yang terdapat dalam organisasi, dan (e) saluran komunikasi apa yang tersedia bagi siapa dan juntuk kepentingan apa.
Ketiga: kejelasan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan transparansi dan keterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan fungsi dan kegiatannya, termasuk dalam hal penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perumusan dan penentuan kebijaksanaan, penegakan disiplin masyarakat, dalam melakukan pemungutan dana dari masyarakat serta penggunaannya, dan dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat luas.
Perlu tekanan bahwa secara implisit kejelasan mekanisme dan prosedur kerja juga mengandung pengertian kesederhanaan, baik dalam arti proses perumusannya maupun materinya, mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan disebarluaskan kepada pihak-pihak yang akan menggunakan dan menjadi objeknya, perlu konsistensi dalam penerapannya, ketaatan penuh semua pihak mutlak diperlukan, dan kejelasan sanksi disiplin bagi yang melanggarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar