Minggu, 11 Desember 2011

Pengertian Administrasi dan Pembangunan


Pengertian Administrasi dan Pembangunan
Ada berbagai pengertian mengenai administrasi. Yang paling mendasar adalah pengertian dari Waldo, yang menyatakan bahwa administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antarmanusia. Waldo (1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antarmanusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya. Administrasi negara berkenaan dengan administrasi dalam lingkup negara, sering kali pula diartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya, administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapai merupakan konsep yang mendasar pula dalam administrasi negara. Tujuan itu sendiri tidak perlu hanya satu; pada setiap waktu, tempat, bidang, atau tingkatan, bahkan kegiatan tertentu, terdapat tujuan-tujuan tertetu. Tetapi sebagai negara tentu harus ada asas, pedoman, dan tujuan, yang menjadi landasan kerja administrasi negara. Pada umumnya (meskipun tidak semuanya) gagasan-gagsan dasar tersebut ada dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan sedara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Seperti dikatan oleh Seers (1969) di sini ada pertimbangan nilai (value judgment). Atau menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).

Namun, ada perbedaan antara arti pembangunan dan perkembangan. Pembangunan adalah perubahan ke arah kondisi yang lebih melalui upaya yang dilakukan secara terencana, sedangkan perkembangan adalah perubahan yang dapat lebih baik atau lebih buruk, dan tidak perlu ada upaya tertentu. Adanya upaya yang diselenggarakan secara berencana, merupakan unsure penting dalam pembangunan. Hal ini mengingat adanya pandangan bahwa perubahan sosial adalah hukum sejarah yang akan terjadi dengan sendirinya walaupun tanpa upaya. Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang beralawanan dengan merusak. Oleh karena itu, perubahan ke arah keadaan yang lebih baik seperti yang diinginkan dan dengan upaya yang terencana, harus dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi justru mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. Pembangunan menjadi bahan kajian berbagai disiplin ilmu, terutama setelah Perang Dunia Kedua (PD II), denagn lahirnya banyak negara baru yang semula merupakan wilayah jajahan. Pembangunan telah menjadi bahan studi ilmu ekonomi, politik, sosial, dan administrasi, dan telah berkembang pula sebagai studi multidisiplin dengan pendekatan dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Pembangunan sering dikaitkan dengan modernisasi dan industrialisasi. Seperti dikatakan Gouled (1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan. Pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial, modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) dari
pembangunan, dan industrialisasi adalah salah satu segi (asingle facet) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa pembangunan lebih luas sifatnya dari pada modernisasi, dan modernisasi lebih luas dari pada industrialisasi. Seperti dikatakan Rutow (1967), modernisasi adalah proses yang mencakup perubahan-perubahan yang spesifik, termasuk industrialisasi, yang menunjukkan pengusaan yang leih luas atas alam melalui kerjasamayang lebih erat antar manusia. Black, et al. (1975), melukiskan modernisasi sebagai proses di mana terjadi transformasi masyarakat sebagai dampak revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses transformasi dari masyarakat agaris ke masyarakat industri adalah salah satu indikasi dari proses industrialisasi. Berkaitan pula dengan pembangunan adalah pembaharuan, yang juga merupakan suatu bentuk perubahan ke arah yang dikehendaki, tetapi lebih berkait dengan nilai-nilai atau sistem nilai. Pembangunan dengan demikian juga berarti pembaharuan, meskipun pembaharuan tidak selalu harus berarti pembangunan. Dengan tidak mengabaikan sumbangan disiplin ilmu sosial lain terhadap studi pembangunan, kajian bidang ekonomi memberikan dampak paling besar terhadap konsep-konsep pembangunan.

Konsep-konsep Pembangunan
Pembangunan, menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan, sering didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil per kapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Teori pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri
setidak-tidaknya sejak abad ke-18. Menurt Adam Smith (1776) proses pertumbuhan diawali apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Division of labor akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam
Smith juga mengarisbawahi pentingnya sekala ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, muncul pemikiran-pemikiran yang
berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits to growth), antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917). Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya. Pada intinya teori ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya (1) akumulasi modal (physical
capital formation) dan (2) peningkatan kualitas dan investasi sumber daya manusia (human capital). Salah satu dampaknya yang besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini
berpikjak pada pandangan Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang.
Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas capital (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secar berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan , makin besar investasi, dan makin tinggi pertumbuhan ekonomi. Apabila Harrod-Domar memberi tekanan pada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labor-nya memberikan tekanan pada peranan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang diperoleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru, karena kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save invest) yang lebih tinggi dibanding kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neo-klasik. Teori pertumbuhan neo-klasik mulai memasukan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dala teori neo-klasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomia yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh semua negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang. Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan fakto-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui\ pendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976). Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan bahwa teknologi bukan faktor eksogen, tapi faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta, kreasi, inisiatif, yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terajadi melalui kegiatan perdagangan nternasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, dan komunikasi. Mengenai peran perdagangan dalam pertumbuhan, Nurkse (1953) menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembngan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negra yang disebut diatas. Dengan demikian pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional. Kemudian kita melihat bahwa kamajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh perdagangan internasional.
Dalam kelompok teori pertumbuhan ini ada pandangan penting yang dianut oleh banyak pemikir
pembangunan, yaitu teori tahapan pertumbuhan. Dua di antara yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui urutan tingkatan atau tahap pembangunan. Rostow mengemukakan 5 tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap traditional society, preconditions for growth, the take-off, the drive to maturity, dan the age of high mass-cosumption. Menurut Chenery dan Syrquin (1975), yang merupakan perkembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami transformasi (konsumsi, produksi, dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi didominasi sektor industri dan jasa. Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang palig bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa (1940-1970) menunjukkan bahwa rakyat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati cucuranhasil pembangunan seperti yang diharapkan. Bahkan dibanyak negara kesenjangan makin melebar. Hal ini disebabkan, meskipun pendapatan dan konsumsi mungkin meningkat, namun kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang meguntungkan (privileged), akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya semakin bertambah kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin. Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap pradigma yang
semata-mata meberi penekanan kepada pertumbuhan, antara lain berkembang kelompok pemikiran yang disebut pradigma pembangunan sosial, yang tujuannya adalah menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelaskelas pendapatan dapat diukur dengan kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain distribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihat
tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara. Berbeda
dengan distribusi pendapatan yang menggunakan konsep
relatif, analisis yang mengenai tingkat kemiskinan
menggunakan konsep absolut atau kemiskinan absolut.
Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namun
disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya
memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan
merupakan tantangan yang jawabanya tidak henti-hentinya
dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang
dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau
redistribution with growth (RWG) dikembangkan
berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia
pada tahun 1974 (Chenery, et al.). Ide dasarnya adalah
pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan
sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan
rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan
produsen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan
meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima
sumber ekonomi yang diperlukan.
Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap
tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan,
berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau
basic human needs (BHN) (Streeten, et al, 1981). Stategi
BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasar
bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan
sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan
perumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuan
yang sama, tetapi dalam hal kebijaksanaan yang diambil
terdapat perbedaan. RWG menekankan pada peningkatan
produktivitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkan
BHN menekankan pada penyediaan public services
disertai jminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh
pelayanan tersebut.
Masalah pengangguran juga makin mendapat
perhatian dalam rangka pembangunan ekonomi yang
menghendaki adanya pemerataan. Todaro (1985)
mengemukakan, terdapat kaitan yang erat antara
pengangguran, ketidakmerataan pendapatan, dan
kemiskinan. Pada umumnya mereka yang tidak
memperoleh pekerjaan secara teratur termasuk dalam
kelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperoleh pekerjaan secara terus-menerus adalah yang berpendapatan
menengah dan tinggi. Dengan demikian, memecahkan
masalah pengangguran dapat memecahkan masalah
kemiskinan dan pemerataan pendapatan.
Beberapa ahli berpendapat pula bahwa
permerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan
lapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini, barangbarang
yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin
cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibanding
dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih
tinggi. Dengan demikian, pemerataan pendapatan akan
menyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada
gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja.
Dalam rangka perkembangan teori ekonomi
politik dan pembangunan perlu dicatat pula bahwa aspek
ideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiranpemikiran
yang berkembang. Salah satu di antaranya
adalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutama
berdasarkan keadaan pembangunan di Amerika Latin pada
tahun 1950-an. Ciri utama dari teori ini adalah bahwa
analisanya didasarkan pada adanya interaksi antara
struktur internal dan eksternal dalam suatu sistem.
Menurut teori ini (Baran, 1957), keterbelakangan negaranegara
Amarika Latin terjadi pada saat masyarakat
perkapitalis tergabung ke dalam sistem ekonomi dunia
kapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebut
kehilangan otonominya dan menjadi daerah “pinggiran”
(periphery) dari negara metropolitan yang kapitalis.
Daerah (negara) penggiran dijadikan “daerah-daerah
jajahan” dari negara-negara metropolitan. Mereka hanya
berfungsi sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan
industri daerah (negara) metropolitan, dan sebaliknya
merupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan
industri-industri di negara-negara metropolitan tersebut.
Dengan demikian, timbul struktur ketergantungan yang
merupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi serta
merintangi pula pembangunan yang mandiri.
Ada dua aliran dalam teori ketergantungan. Yaitu
aliran Marxis dan Neo-Marxis, serta aliran non Merxis.
Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangka
analisi dari teori Marxis tentang imperialisme. Aliran ini
tidak membedakan secara tajam mana yang termasuk
struktur internal dan mana struktur eksternal, karena kedua
struktur tersebut dipandang sebagai faktor yang berasal
dari sistem kapitalis dinia itu sendiri. Selain itu, aliran ini
mengambil perspektif perjuangan kelas internasional
antara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihak
dan kaum buruh dipihak lain. Untuk memperbaiki nasib
buruh, perlu diambil prakarsa menumbangkan kekuasaan
yang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, resep
pembangunan untuk daerah pinggiran adalah revolusi
(Andre Gunder Frank, 1967). Sedangkan aliran kedua
melihat masalah ketergantungan dari perspektif ansional
atau regional. Menurut aliran ini struktur dan kondisi internal pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal
dari sistim itu sendiri, meskipun struktur internal ini pada
masa lampau atau sekarang dipengaruhi oleh fakto-faktor
luar negeri (lihat misalnya Theotonio Dos Santos, 1969;
Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982).
Oleh karena itu, subyek yang perlu dibangun adalah
“bangsa” atau “rakyat” dalam suatu negara (nation
building). Dalam menghadapi tantangan pembangunan,
konsep negara atau bangsa ini perlu dijadikan landasan
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan.
Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya
saja hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi,
berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hakhak
asasi manusia menjadi pembicaraan pula dalam
kajian-kajian pembangunan (antara lain lihat Bauzon,
1992). Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etika
pembangunan, misalnya, mengetengahkan bahwa proses
pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya
“solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yang
berakar dari bawah (grass-roots oriented), (2) memelihara
keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung
tinggi martabat serta kebebasan manusia dan masyrakat.
Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma
yang mencari jalan ke arah pembangunan yang
berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan
yang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapi
kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi
era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang
penting guna memantapkan pertumbuhan dan
kesejahteraan manusia, keadilan, dan kelestarian
pembangunan (Korten, 1984). Logika yang dominan dari
paradigma ini adalah ekologi manusia yang seimbang
dengan sumber-sumber daya yang utama berupa sumber
daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habishabisnya.
Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia
yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi
dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi
peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan
sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan
sumber daya, dan mengerahkan proses yang
mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang
berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan
prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.
Paradigma terakhir dalam pembahasan ini, yang
tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial
dan berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahas
terdahulu, adalah paradigma pembangunan manusia.
Menurut pendekatan ini, tujuan utama pembangunan
adalah menciptakan suatu lingkungan yang
memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan yang
kreatif, sehat dan berumur panjang. Walaupun tujuan ini
sederhana, namun sering terlupakan oleh keinginan untuk
meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak
pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia
tidaklah terjadi dengan sendirinya. Pengalamanpengalaman
tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan
produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat,
sedangkan tujuan akhir dari pembangunan harus
manusianya sendiri.
Menurut pandangan ini, tujuan pokok
pembangunan adalah memperlus pilihan-pilihan manusia
(UI Haq, 1995). Pengertian ini mempunyai dua sisi.
Pertama, pembentukan kemampuan/kapabilitas manusia,
seperti tercemin dalam kesehatan, pengetahuan, dan
keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan
yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati
kehidupan, atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan,
sosial dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang
disebut sebagai sebuah konsep yang holistik ini
mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan
produktivitas, (2) pemerataan kesempatan, (3)
kesinambungan pembangunan, dan (4) pemberdayaan
manusia.
Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh United
Nation Development Program (UNDP), yang
mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia dan
Human Devlopment Index (HDI). Indeks ini merupakan
indikator komposit/gabungan yang terdiri dari 3 ukuran,
yaitu: kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan
(sebagai ukuran knowledge), dan tingkatan pendapatan riil
(sebagai ukuran living standards).
Demikianlah berbagai aliran pemikiran dalam
studi pembangunan, yang berkembang selama ini.
Meskipun konsep pembangunan manusia dapat dianggap
paling lengkap dan merupakan sintesa dari pendekatanpendekatan
sebelumnya, namun tampaknya belum ada satu
pun pendekatan yang dapat memberikan jawaban yang
memuaskan bagi semua orang. Masing-masing ada
kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian,
pendekatan yang terbaik adalah pendekatan yang
disesuaikan pada kebutuhan, kondisi dan tingkat
perkembangan masing-masing negara.
Perkembangan Pemikiran dalam Ilmu Administrasi
Negara
Sebagaimana disiplin ilmu-ilmu lainnya, dan
seperti juga konsep-konsep mengenai pembangunan yang
telah diuraikan di atas, ilmu administrasi negara juga
berkembang. Selama kurang lebih satu abad, administrasi
negara telah mengalami perjalanan yang panjang, dan
sebagai disiplin ilmu mengalami pasang surut.
Berbagai cara dapat digunakan unutk menganalisis
perkembangan konseptual ilmu administrasi negara, antara
lain metode pendekatan matriks loccus dan focus (2 x 2
matrix) dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi negara.
Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik
politik dari administrasi (2) fase perbedaan konkrit politik
dari admisnistrasi, (3) fase manajemen, dan (4) fase
orientasi terhadap kebijaksanaan publik.
Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga
paradigma komprehensip dalam perkembangan pemikiranpemikiran
ilmu administrasi negara, yakni (1) paradigma
tradisional, (2) paradigma sosial psikologi, dan (3)
paradigma kemanusiaan (humanist/systemic).
Gelombiewski mengajukan kritik terhadap paradigmaparadigma
tersebut yang banyak kelemahannya dan
meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma. Ia
mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah
paradigma-paradigma kecil (mini paradigm)
Nicholas Henry (1995) menggunakan pendekatan
lain. Dengan memperkenalkan pandangan Bailey, bahwa
unutk analisis administrasi negara sebagai ilmu harus
diterapkan empat teori, yaitu teori deskriptif, normatif,
asumtif dan instrumental, Henry mengenali tiga soko guru
pengertian (defining pillras) administrasi negara, yaitu: (1)
perilaku organisasi dan perilaku manusia dalam organisasi
publik, (2) teknologi manajemen dan lembaga-lembaga
pelaksana kebijaksanaan, dan (3) kepentingan publik yang
berkaitan dengan perilaku etis individual dab urasan
publik.
Henry mengetengahkan lima paradigma yang
dalam administrasi negara, yaitu (1) dikotomi
politik/administrasi, (2) prinsip-prinsip administrasi serta
tantangan yang timbul dan jawaban terhadap tantangan
tersebut, (3) administrasi negara sebagai ilmu politik, (4)
administrasi negara sebagai manajemen, (5) administrasi
negara sebagai administrasi negara. Berbagai cara
pendekatan tersebut perlu dipahami oleh pelajar ilmu
administrasi negara.
Sejak kelahairannya, pendekatan ilmu administrasi
negara selalu berhubungan dengan ilmu politik. Bahkan
esai Woodrow Wilson (1887) dalam The Study of Public
Administration yang menjadi cikal bakal ilmu administrasi
merupakan upaya untuk menajamkan fokus bidang studi
politik, yaitu membuat pemisahan antara politik dengan
administrasi. Di tahun-tahun berikutnya ilmu administrasi
diperkuat dengan berkembangnya konsep-konsep
manajemen, seperti manajemen ilmia dari Taylor (1912),
dan organisasi, seperti model organisasi yang disebut
birokrasi dari weber (1922). Namun, dalam konteks
pembahasan ini, perhatian utama diberikan pada
perkembangan pemikiran menuju kelahiran administrasi
pembangunan sebagai sebuah konsep.
Meskipun telah berkembang sebagai bidang studi
tersendiri, administrasi negara masih saja menghadapi
kesulitan untuk memisahkan diri dari ilmu politik. Dalam
perkembangannya kemudian, mulai ada usaha untuk menghindari dari dikotomi plotik-administrasi yang
menandai pandangan-pandangan pada priode sebelumnya
dan memberikan perhatian lebih besar pada sisi
manajemen dari administrasi. Hal ini antara lain dilakukan
oleh White (1926). Berkat White, pendidikan ilmu
administrasi berkembang lebih cepat, dengan bukunya
Introduction to be Theory of Public Administration, yang
selama setengah abad menjadi buku pelajaran (text book)
utama bagi dipsiplin ilmu.
Sementara itu, pendekatan scientific yang dirintis
oleh Taylor (1912) pada masa sebelumnya dan diperkuat
antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), mulai
memperoleh tandingan dari para teoritis, yang mulai
menerapkan pendekatan hubungan manusia dan ilmu-ilmu
prilaku (behavioral sciences) ke dalam teori-teori
administrasi dan organisasi. Karya Barnard (1938) yang
mengemukakan pandangan mengenai adanya organisasi
informal di samping organisasi formal, merupakan contoh
dan karya monumental yang sampai sekarang menjadi
bahan rujukan yang penting. Selain itu, Maslow (1943)
seorang psikolog, mengetengahkan faktor motivasi dalam
organisasi, yang tidak semata-mata ekonomi, tetapi juga
ada sisi-sisi sosial dan kemanusian lainnya, yang sampai
sekarang juga masih dijadikan acuan.
PD II membawa perubahan yang besar pada
administrasi negara. Program-program sosial yang besar
dan pengendalian mesin perang pada PD II telah
menampilkan administrasi negara pada tataran yang makin
menonjol. Pemikiran yang lahir setelah PD II, yang besar
sekali dampaknya pada perkebangan ilmu administrasi,
ada dari Simon (1947). Ia mengetengahkan pandangan
yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini
selanjutnya, yaitu pada intinya administrasi adalah
pengambilan keputusan. Namun, di lain pihak, Simon juga
mempertanyakan keabsahan administrasi sebagai ilmu
yang berdiri sendiri. Pertanyaan ini memcerminkan
berlanjutnya krisis identitas dalam ilmu administrasi, di
tengah makin majunya ilmu-ilmu sosial lain, yang di
tunjang oleh peralatan analisis yang makin canggih yang
menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya
matematika dan statistika. Kompleksitas kehidupan
manusia serta institusi-institusi kemasyarakatan dan
kenegaraan menyebabkan universalitas dan kemampuan
meramal ilmu administrasi mulai dipertanyakan. Padahal,
keduanya merupakan dasar untuk tegaknya sbuah disiplin
ilmu.
Para pakar administrasi negara berusaha mencari
jalan ke luar. Selain harus mengenali kompleksitas prilaku
manusia, unutk dapat sah menjadi ilmu, menurut Dahl
(1947), administrasi negara harus dapat mengatasi
persoalan nilai atau norma dan berbagai situasi
administrasi, dan memperthitungkan hubungan antara
administrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Ia
menegaskan bahwa administrasi sebagai ilmu perlu mengembangkan studi-studi perbandingan dalam
administrasi negara, yang memang pada waktu itu sangat
langka sekali.
Upaya mengembangkan studi perbandingan
administrasi negara dilakukan dengan sungguh-sungguh
antara lain dengan dibentuknya Comperative
Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para
pakar administrasi, seperti Jhon D. Montgomery, Wiliam
J. Siffin, Dwight Waldo, Geroge F. Grant, Edward W.
Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir
konsep administrasi pembangunan (development
administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya
didorong oleh kebutuhan membangun administrasi negara
di negara-negara berkembang.
Kritik terhadap prinsip-prinsip administrasi yang
berkembang pada masa sebelumnya (pada masa kaum
reformis dan ortodoks) terus berlangsung, antara lain
datang dari Waldo. Dalam upaya merevitalisasi ilmu
administrasi, ia memprakarsai pertemuan sejumlah pakar
muda ilmu administrasi, unutk mempelajari masalahmasalah
konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan
berusaha memecahkannya. Pertemuan itu dikenal dengan
nama Minnowbrook Conferency yang diselengarakan di
universitas Syaracuse, Amerika Serikat, tahun 1968.
Sementara itu, makin senter suara-suara yang ingin
mengaitkan administrasi dengan demokrasi, bahkan
demokrasi sudah berkembang menjadi paradigma
tersendiri dalam ilmu administrasi. Penganjurnya antara
lain adalah Ostrom (1973). Perkembang itu juga
melahirkan dorongan untuk menigkatkan desentralisasi
dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan yang
disebut administrasi negara baru (new public
administration) yang sebelumnya lahir di Minnowbrook
Conferency, yang esensi dan semangatnya masih terus
bergerak hingga kini.
Pada dasarnya administrasi negara abru itu ingin
mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas
nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta
mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih
tegas lagi menyatakan bahwa administrasi negara harus
memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (sicial
equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan
menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral.
Dengan begitu administrasi negara baru harus mengubah
pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya
keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu
menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu
administrasi.
Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen
publik (public managemant) sebagai bidang studi yang
makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian
pada masalah anggaran dan personil telah berkembang
bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga
mencakup manajemen dalam sistem pengambilan
keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan
pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Selain itu, dunia juga mengalami perubahan besar.
Runtuhnya komunisme dan munculnya proses globslisasi
telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatanpendekatan
baru dalam ilmu-ilmu sosial. Memasuki abad
ke-21, ilmu-ilmu sosial ditantang, unutk mengikuti
kemajuan teknologi yang pesat yang dihasilkan ilmu-ilmu
eksakta, meurmuskan apa dampaknya pada kehidupan
manusia dalam berbagi sisinya, dan bagaimana
mengarahkan agar perkembangan itu menuju ke arah yang
menguntungkan bagi umat manusia.
Dalam era global ini, persaingan dan kerja sama
merupakan tarikan-tarikan besar dalam tata hubungan baru
antar manusia dan antar bangsa. Kualitas hidup manusia
baik secara perorangan maupun sebagai masyarakat
mendapat perhatian yang lebih besar. Karena keterbatasan
sumber alam, lingkungan hidup sudah menjadi faktor yang
harus diperhitungkan dalam setiap disiplin ilmu. Peran
masyrakat dituntut makin besar, dan oleh karena itu
privatisasi, deragulasi, dan debirokratisasi menjadi pola
pemikiran dan pembahsan yang amat berkembang,
termasuk dalam ilmu administrasi.
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang
kemudian adalah administrasi yang partisipatif, yang
menempatkan administrasi di tengah-tengah masyrakat
dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery,
1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan
administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba
menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan
aspirasi masyrakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran
tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki
dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan
ekonomi. Sistem pemerintahan yang otoriter mempuyai
implikasi berbeda dengan yang demokratik, demikian juga
sistem pemerintahan negara federal mempunyai implikasi
administratif yang berbeda dengan negara kesatuan.
Kesempatan itu menuntut reorientasi peranan
pemerintah (baca: birokrasi). Drucker (1989) menegaskan
bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama
baiknya oleh masyrakat, hendaknay jangan dilakukan oleh
pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar
atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif.
Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi
tetap diperlukan, tetapi harus tidak birokratis. Osbone dan
Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali
pemerintah”, dengan mengetengahkan konsep
entrepreneurial government. Perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasi
terus berlanjut. Perkembangan yang cukup mendasar telah
terjadi dengan munculnay kebijaksanaan publik (public
policy) sebagai paradigma administrasi negara. Di
dalamnya tercakup politik perumusan kebijaksanaan,
teknik analisis kebijaksanaan, serta perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kebijaksanaan.
Dari uraian di atas tampak bahwa admisnistrasi
negara modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik,
terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai
administrasi pembangunan) maupun di negara maju
dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga
terlihat bahwa ada Konvergensi dari pemikiran-pemikiran
yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan
pendangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang
mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek
manusia serta nilai-nilai kemanusian yang tercemin dalam
berbagai pendekatan yang sedang berkembang. Dengan
demikian, berkembang pula pikiran-pikiran mengenai etika
administrasi yang sekarang telah menjadi kajian tersendiri
dalam ilmu administrasi. Mengingat pentingnya peran
etika dalam administrasi pembangunan, perkembangan
pemikiran dan kerangka teorinya dibahas tersendiri berikut
ini.
Etika Administrasi
Etika dan Administrasi
Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai,dan norma.
Dunia administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan.
Etika bersifat abstrak dan berkenan dengan persoalan baik
dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan
harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done).
Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah
bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagsangagasan
administrasi--seperti ketertiban,efesiensi,
kemanfaatan, produktivitas-dapat menjealaskan etika
dalam praktiknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar
etika—mewujudkan yang baik dan menghindari yang
buruk dapat menjelaskan hakikat administrasi.
Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi
telah menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalam
ilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandangan
ada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya
konsep etika dalam ilmu administrasi, yaitu (1) hilangnya
dikotomi politik-administrasi, (2) tampilnya teori-teori
pengambilan keputusan di mana masalah prilaku manusia
menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan
sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi, (3)
berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang
disebut counterculture critique, termasuk di dalamnya
kelompok administrasi negara baru seperti yang telah
dikemukakan di atas.
Kajian-kajian mengenai etika administrasi masih
berlangsung hingga saat ini, masih belum terkristalisasi.
Hal ini mencerminkan uapya untuk menetapkan identitas
ilmu administrasi, yang sebagai dipsiplin ilmu bersifat
elektif dan terkait erat dengan dunia praktik, tidak dapat
tidak terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Untuk kepentingan pembahasan di sini diikuti
jejak Rohr (1989), pakar masalah etika dalam birokrasi,
yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian yang
kurang lebih sama, meskipun untuk kepentingan
pembahasan lain, misalnya dari sudut filsafati, memang
ada perbedaan. Rohr menyatakan: For the most part, I
shaal use the words “ethics” and “morals”
interchangeably. Although there may be nuances and
shades of meaning that differentiate these words, they are
derived etymologically from Latin and Greek words with
the same meaning. Berbagai kepustakaan dan kamus
menunjukkan kata etika berasal dari Yanani ethos yang
artinya kebiasaan atau watak; dan moral, dari kata Latin
mos (atau mores untuk jamak) yang artinya juga kebiasaan
atau cara hidup.
Walaupun etika administarasi sebagai subdisiplin
baru berkembang kemudian, namun masalah kebaikan dan
keburukan sejak awal telah menjadi bagian dari
pembahasan dalam administrasi. Misalnya, konsep
birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarki dan birokrasi
sebagai profesi, mencoba menunjukkan birokrasi yang
baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untuk
memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep
manajemen ilmiah dari Taylor dapat dipandang sebagai
upaya ke arah itu. Cooper (1990) justru menyatakan bahwa
nilai-nilai adalah jiwa dari administrasi negara. Sedangkan
Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati
setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948)
menyatakan, siapa yang mempelajari administrasi berarti
telah mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktikkan
administrasi berarti mempraktikkan alokasi nilai-nilai.
Peran etika dalam administrasi mengambil wujud
yang lebih terang belakangan ini saja, ya kni kurang lebih
dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika ini
terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa
meskipun kekuasaan ada di tangan mereka yang
memegang kekuasaan politik (political masters), namun
administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum
disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah
apa jaminan dan bagaimana menjamin kewenangan itu
digunakan secara “benar” dan tidak secara “salah” atau
secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan
dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika
administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab
pertanyaan itu. Etika tentu bukan hanya masalah
administrasi negara. Ia masalah manusia dan kemanusiaan,
dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi ilmu
falsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu
sosial. Di bidang administrasi, etika juga tidak terbatas
hanya pada administrasi negara, tetapi juga dalam
administrasi niaga, yaitu antara lain disebut sebagai
business ethics.
Di bidang administrasi negara, masalah etika
dalam birokrasi menjadi keprihatinan (concern) yang
sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi
bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu,
birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena
seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga
untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan
adanya jaminan bahwa para birokrat yang dibiayanya
harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut
standar etika yang selaras dengan kedudukannya.
Selain itu, tumbuh pula keprihatinan bukan saja
terhadap individu – individu para birokrat tetapi terhadap
organisasi sebagai sebuah sistem yang cenderung
mengesampingkan nilai – nilai. Apalagi birokrasi modern
cenderung bertambah besar dan bertambah luas
kewenangannya. Appleby (1952) termasuk orang yang
paling berpengaruh dalam studi masalah ini. Ia mencoba
mengaitkan nilai – nilai demokrasi dengan birokrasi dan
melihat besarnya kemungkinan untuk memadukannya
secara serasi. Namun, Appleby mengakui bahwa dalam
praktiknya yang terjadi adalah kebalikannya. Ia membahas
patologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasi
melenceng dari keadaan yang seharusnya. Golembiewski
(1989, 1993) yang juga merujuk pada pandangan Appleby,
selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi selalu
dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral,
sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya
birokrasi pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987)
mengritik birokrasi rasional ala Weber dengan mengatakan
bahwa birokrasi yang disebut sebagai bentuk organisasi
yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya
dengan ketiadaan norma – norma, nilai – nilai dan etika
dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma – norma, nilai
– nilai, dan etika yang berpusat pada manusia. Sementara
Hart (1994) antara lain mengungkapkannya sebagai
berikut : … For too long, the management orthodoxy has
taken as axiomatic the proposition that “good systems will
produce good people,” and that ethical problems will yield
to better systems design. But history is clear that a just
society depends more upon the moral trustworhiness of its
citizens and its leaders than upon structures designed to
transform ignoble actions into socially useful results.
Systems are importany, but good character is more
important. As a result, management scholars and
practitioners are giving increasing attention to
administrative ethics…
Pendekatan
Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat
diketengahkan untuk mewakili banyak pandangan
mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika,
yaitu (1) pendekatan teleologi, dan (2) pendekatan
deontologi.
Pertama, pendekatan teleologi. Pendekatan
teleologi terhadap etika administrasi berpangkal tolak
bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya
dilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai
kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yakni
baik atau buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau
tindakan yang diambil. Dalam konteks administrasi
negara, pendekatan teleologi mengenai baik dan buruk ini,
diukur antara lain dari pencapaian sasaran kebijaksanaan –
kebijaksanaan – kebijaksanaan publik (seperti
pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan
untuk mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan),
pemenuhan pilihan – pilihan masyarakat atau perwujudan
kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan kalau
itu menjadi tujuan administrasi.
Pendekatan ini terdiri atas berbagai kategori, tetapi
ada dua yang utama. Pertama adalah ethical egoism, yang
berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang
amat dikenal disini adalah Niccolo Machaveavelli, seorang
birokrat di Itali pada abad ke-15, yang menganjurkan
bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang
benar untuk seorang administrator pemerintah. Kedua
adalah utilitarianism, yang pangkal tolaknya adalah prinsip
kefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaik
untuk sebanyak – banyaknya orang. Prinsip ini sudah
berakar sejak lama, terutama pada pandangan – pandangan
abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John
Stuart Mills. Namun, di antara keduanya yaitu egoism dan
utilitarianism, tidak terdapat jurang pemisah yang tajam
karena merupakan suatu kontinuum, yang di antaranya
dapat ditempatkan, misalnya, pandangan Weber bahwa
seorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingan
dirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintah
atasanya, yang oleh Chandler (1994) disebut sebagai a
disguise act of ego.
Namun, dapat diperkirakan bahwa dalam masa
modern dan pasca modern ini pandangan utilitarianism
dari kelompok pendakatan teleologis ini memperoleh lebih
banyak perhatian. Dalam pandangan ini yang amat pokok
adalah bukan memperhatikan nilai – nilai moral, tetapi
konsekuensi dari keputusan dan tindakan administrasi itu
bagi masyarakat. Kepentingan umum (public interest)
merupakan ukuran penting menurut pendekatan ini. Disini
ditemui berbagai masalah, antara lain :
(1) Siapa yang menentukan apakah sesuatu
sasaran, ukuran atau hasil yang dikehendaki didasarkan
kepentingan umum, dan bukan kepentingan si pengambil
keputusan, atau kelompoknya, atau kelompok yang ingin
diuntungkan.
(2) Di mana batas antara hak perorangan dengan
kepentingan umum. Jika kepentingan umum
mencerminkan dengan mudah kepentingan individu, maka
masalahnya sederhana. Namun, jika ada perbedaan tajam
antara keduanya, maka akan timbul masalah yang lebih
rumit.
(3) Bagaimana membuat perhitungan yang tepat
bahwa langkah – langkah yang dilakukan akan
menguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan.
Hal ini penting karena kekuatan dari pendekatan
(utilitarianism) ini adalah bahwa karena kekuatan dari
pendekatan manfaat yang sebesar – besarnya dan kerugian
yang sekecil – kecilnya, untuk kepentingan masyarakat
secara keseluruhan. Atau dengan kata lain efisiensi.
Salah satu jawaban yang juga berkembang adalah
apa yang disebut pilihan (public choice) suatu teori yang
berkembang atas dasar prinsip – prinsip ekonomi.
Pandangan ini berpangkal pada pilihan – pilihan
perorangan (individual choices) sebagai basis dari langkah
– langkah politik dan administratif. Memaksimalkan
pilihan – pilihan individu merupakan pandangan teleologis
yang paling pokok dengan mengurangi sekecil mungkin
biaya atau beban dari tindakan kolektif terhadap individu.
Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip – prinsip
ekonomi pasar dan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan. Dengan sendirinya akan ada
konflik dalam pilihan – pilihan tersebut, dan bagaimana
mengelola konflik – konflik itu merupakan tantangan
pokok bagi administrasi dalam merancang dan mengelola
badan – badan dan program – program publik.
Tidak semua pihak merasa puas dengan
pendekatan – pendekatan tersebut. Munculnya pandangan
– pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhir
abad ke 20 ini justru berkaitan erat dengan upaya
menundukkan etika atau moral sebagai prinsip utama
(guiding principles) dalam administrasi. Hal ini merupakan
tema dari pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan
deontologi.
Pendekatan ini berdasar pada prinsip – prinsip
moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada
dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau
konsekuensi dari keputusan atau tindakan yang dilakukan.
Asasnya adalah bahwa proses administrasi harus
berlandaskan pada nilai – nilai moral yang mengikat.
Pendekatan inipun, tidak hanya satu garisnya. Yang amat
mendasar adalah pandangan yang bersumber pada falsafah
Immanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah
imperatif dan kategoris, yang tidak membenarkan
pelanggaran atasnya untuk tujuan apapin, meskipun karena
itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.
Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut,
adapula pandangan relativisme dalam moral dan
kebudayaan, yang menolak kekuatan dan absolutisme
dalam memberi nilai pada moral. Menurut pandangan ini
suatu peradaban atau kebudayaan akan menghasilkan
sistem nilainya sendiri yang dapat tapi tidak harus selalu
sama dengan peradaban atau kebudayaan lain. Dari pokok
pikiran tersebut berkembang pandangan – pandangan yang
disebut situalionism yang bertentangan dengan paham
universalism. Situation ethics ini intinya adalah bahwa
determinan dari moralitas yang ditetapkan senantiasa
terkait dengan situasi tertentu.
Dalam dunia praktik, yang menjadi dua
administrasi, masukkan nilai – nilai moral ke dalam
administrasi meruapakan upaya yang tidak mudah, karena
harus mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwai
administrasi, seperti yang dicerminkan oleh paham
utilitarianism. Oleh karena memang per definisi
administrasi adalah usaha bersama untuk mencapai suatu
tujuan, maka pencapaian tujuan itu merupakan nilai utama
dalam administrasi selama ini.
Selanjutnya, Fox (1994) mengetengahkan tiga
pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi
dalam etika administrasi ini. Pertama, pandangan
mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama
berkembang konsep administrasi negara baru (antara lain
Frederickson dan Hart, 1985). Seperti telah diungkapkan
di atas, menurut pandangan ini administrasi negara
haruslah secara pro-aktif mendorong terciptanya
pemerataan atau keadilan sosial (Social equity).
Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh John Rawls
(1971), dengan Theory of Justice-nya yang menjadi
rujukan dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial.
Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh
administrasi negara modern adalah adanya
ketidakseimbangan dalam kesempatan. Sehingga mereka
yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi
dengan baik memperoleh posisi yang senantiasa
menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan,
secara etika, administrasi harus membantu yang miskin,
yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi.
Pandangan ini cukup berkembang meskipun didunia
akademik banyak juga yang mengkritiknya. Kedua, apa
yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan
ini bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa
etika administrasi negara harus mengacu kepada nilainilai
yang melandasi keberadaan negara yang
bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk pada konstitusi
Amerika yang harus menjadi landasan etika administrasi
dinegara itu. Ketiga, tatanan moral universal atau
universal moral order (antara lain Denhardt, 1988, 1994).
Pandangan ini berpendapat ada nilai-nilai moral yang
bersifat universal yang menjadi pegangan bagi
administrator publik. Masalah disini adalah nilai-nilai
moral itu sendiri banyak dipertanyakan karena beragam
sumbernya dan juga beragam kebudayaan serta
peradabannya seperti telah diuraikan diatas.
Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak
kepustakaan etika administrasi yang membahas dan
mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini
berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari
seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi
terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam
administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules),
yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsifungsi
serta prosedur, termasuk sistem insentif dan
disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.
Pandangan etika kebajikan bertumpu pada
karakter individu. Pandangan ini, seperti juga pandangan
administrasi negara baru, bersumber dari konferensi
Minnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960-
an, yang ingin memperbaharui dan merevitalisasi bidang
studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yang
diharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalam
organisai sehingga pencapaian tujuan organisasi senantiasa
berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
Tantangan selanjutnya adalah menemukan apa
saja nilai-nilai kebajikan itu, atau lebih tepatnya lagi nilainilai
mana yang pokok (cardinal value), dan mana yang
menjadi turunan (derivative) dari nilai-nilai pokok itu.
Frankena (1973) misalnya mengatakan many moralists,
among them schopenbouer, have taken benevolence and
justice to be the cardinal moral virtues, as I WOULD . It
seems to me that all of the usual virtues (such as love,
courage, temperance, honesty, gratitude, and
considerateness), at least insofar as they are moral virtues,
can be derived from these two. Hart mengatakan bahwa
kebajikan utama itu adalah eudaimonia dan benevolence.
Yang dimaksud dengan eudaimonia menurut Hart adalah
konsep bahwa all individuals are born with unique
potentialities and the purpose of life is to actualize them in
the world. These potentialities involve, first, moral virtues
and, second, our unique individual talents. With respect to
morality, eudaimonia cannot involve harming either self or
others, as the prefix”eu”, or “good”, makes clear.
Sedangkan benevolence diartikannya sebagai the love of
other.
Selanjutnya administrator yang baik (virtuous
administrator) adalah yang berusaha, seperti dikatakan
Hart (1994), agar kebajikan menjadi sentral dalam
karakternya sendiri, yang akan membimbing perilakunya to social engineering. Disini Hart mengetengahkan
pentingnya pendidikan kebajikan sejak dini, serta
dilancarkannya kebijaksanaan program, praktik – praktik
yang mendorong berkembangnya nilai – nilai kebajikan
dalam organisasi. Akhirnya, yang teramat penting adalah
keteladanan. Ia sendiri mengakui tidak ada orang yang
dapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena itu dalam
etika kebajikan yang penting adalah proses untuk
menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.
Etika Perorangan dan Etika Organisasi
Dalam membahas etika dalam organisasi,s
ejumlah pakar membedakan antara etika perorangan
(personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan
menentukan baik atau buruk perilaku individual seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain dalam organisasi.
Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci
kewajiban – kewajiban (obligations) organisasi, serta
menggariskan konteks tempat keputusan – keputusan etika
perorangan itu dibentuk (Vasu, Stewart dan Garson, 1990).
Menjadi tugas para pengkaji organisasi untuk memahami
lebih dalam hakikat etika perorangan dan etika organisasi
serta interaksinya.
Nilai – nilai kebajikan yang diuraikan diatas
adalah etika perorangan yang harus dimiliki siapa saja,
bahkan dalam pandangan ilmu administrasi, justru harus
dimiliki oleh mereka yang menjadi pengabdi masyarakat
(public servants).
Dalam menganalisis etika perorangan dari kaca
mata ilmu administrasi, Rohr (1983) membaginya dalam
kelompok metaetika (studi mengenai dasar – dasar ini ia
memasukkan etika profesional. Etika profesional lebih
sempit dibandingkan dengan etika profesional. Etika
profesional lebih sempit dibandingkan dengan etika
perorangan yang berlaku untuk semua itu. Etika
profesional berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Oleh
karena itu, etika profesional berlaku dalam suatu kerangka
yang diterima oleh semua yang secara hukum atau secara
moral mengikat mereka dalam kelompok profesio yang
bersangkutan. Etika profesional pada profesi tertentu
dilembagakan dalam kode etik. Misalnya, kode etik untuk
dokter, hakim, pengacara, wartawan, arsitek, pegawai
negeri, periklanan, dan sebagainya. Kode etik itu ada yang
diperkuat oleh sistem hukum, atau mengikat secara sosial
dan kultural, sehingga mengikat secara moral.
Administrasi Pembangunan
Setelah membahas berbagai pengertian dasar dan
perkembangan pemikiran dalam konsep pembangunan dan
administrasi dapatlah kiranya diperoleh pemahaman yang
lebih jelas mengenai hakikat administrasi pembangunan.
Administrasi pembangunan berkembang karena
adanya kebutuhan di negara – negara yang sedang
membangun untuk mengembangkan lembaga – lembaga
dan pranata – pranata sosial, politik, dan ekonominya, agar
pembangunan dapat berhasil. Dari sudut praktik, dan
ekonominya, agar pembangunan merangkum dua kegiatan
besar dalam satu kesatuan pengertian, yakni administrasi
dan pembangunan. Perkembangan administrasi
pembangunan, baik dalam tataran teoritik maupun dalam
praktik, mengikuti perkembangan pemikiran studi
administrasi, khususnya administrasi negara dan studi
pembangunan. Oleh karena itu, upaya untuk memahami
administrasi pembangunan perlu dimulai dengan
pemahaman mengenai administrasi dan pembangunan,
sebagaimana telah diupayakan pada awal bab ini.
Sebagai bidang studi, administrasi pembangunan
berkembang dari studi administrasi perbandingan
(comparative administration), yang merupakan upaya
untuk menyegarkan kembali ilmu administrasi, dan untuk
menyegarkan kembali ilmu administrasi, dan untuk
menyempurnakan sistem administrasi di negara – negara
tersebut. Perkembangan ilmu administrasi pembangunan
didorong oleh lembaga internasional terutama Perserikatan
Bangsa – Bangsa dan badan – badannya, serta badan –
badan pemerintah di negara maju, yang berupaya
membantu negara – negara berkembang dalam
pembangunannya.
Administrasi pembangunan bersumber dari
administrasi negara. Dengan demikian, kaidah – kaidah
umum administrasi negara berlaku pula pada administrasi
pembngunan. Namun administrasi pembangunan memberi
perhatian lebih luas daripada hanya membahas
penyelenggaraan administrasi pemerintahan dalam
pengertian umum, seperti memelihara keamanan, hukum
dan ketertiban, mengumpulkan pajak, memberikan
pelayanan publik, dan menyelenggarakan hubungan
dengan negara lain. Administrasi pembangunan bersifat
dinamis dan inovatif, karena menyangkut upaya
mengandalkan perubahan – perubahan sosial. Dalam
upaya itu administrasi pembangunan sangat
berkepentingan dan terlibat dalam pengerahan sumber
daya dan pengalokasiannya untuk kegiatan pembangunan
(Katz, 1971).
Perbedaan tersebut kini tidak terlalu tajam lagi
karena pada dasarnya administrasi negara modern juga
menghendaki perubahan dalam dirinya dan ingin
memprakarsai pembaharuan lingkungan sosialnya, seperti
tercermin dalam paradigma administrasi negara baru.
Perbedaannya mungkin terletak pada di mana
diterapkannya konsep itu. Administrasi pembangunan
adalah untuk negara berkembang, dan umumnya tidak
diterapkan di negara maju, meskipun administrasi negara
di negara maju juga secara aktif terlibat dalam upaya
memperbaiki diri dan kehidupan masyarakatnya. Dengan
dalam organisasi. Tidak berhenti disitu saja, administrator
yang baik berkewajiban moral untuk mengupayakan agar
kebajikan juga menjadi karakter mereka yang bekerja
dibawahnya. Namun, dinyatakannya pula bahwa kebajikan
tidak bisa dipaksakan kepada yang lain karena kebajikan
berasal dari diri masing – masing individu (voluntary
observance). Ia menekankan bahwa virtue does not yield demikian, latar belakang perbedaan antara keduanya
terletak pada dua aspek : (1) tingkat perkembangan sosial
ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan; dan
(2) lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan
sistem nilai serta penerapan sasaran – sasaran
pembangunan.
Di negara maju, peranan pemerintah relatif kecil,
karena insitusi – institusi masyarakat telah berkembang
maju. Bahkan pemerintah yang kecil dans edikit
keterlibatannya lebih dikehendaki. Sebaliknya, di negara
berkembang, dengan segala kekurangannya, pemerintah
adalah institusi yang paling maju. Oleh karena itu,
tanggung jawab pembangunan terutama berada di pundak
pemerintah (administrasi negara). Institusi lain, seperti
usaha swasta, pada umumnya belum berkembang.
Dengan demikian, adanya sistem administrasi
negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan
menjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Di
lain pihak, sistem pemerintahan di negara – negara
berkembang pada awal kemerdekaanya, umumnya
mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :
Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem
administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya,
karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan
bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber
daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak
diisi oleh orang – orang yang tidak memenuhi persyaratan
yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem
pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi –
fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, dan
tidak berorientasi kepada pembangunan.
Membangun sistem administrasi tradisional
menjadi sistem administrasi modern yang mampu
menyelenggarakan pembangunan merupakans alah satu
tujuan administrasi pembangunan. Berbagai ahli
memberikan berbagai batasan dan pengertian mengenai
administrasi pembangunan. Pada dasarnya,a dministrasi
pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari
sistem administrasi negara di negara yang sedang
membangun serta upaya untuk meningkatkan
kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktik
administrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian
dan komitmen terhadap bilai – nilai yang mendasari dan
perlu diwujudkan menjadid asar etika birokrasi.
Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan
pengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi
pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan
administrasi negara dalam pembangunan, atau dengan kata
lain administrasi dari proses pembangunan, yang
memebdakannya dengan administrasi negara dalam
pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak
untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun
administrasi negara dan tugas pembangunan. Namun, tak
kurang pentingnya adalah perhatian dan komitmen
terhadap kepentingan publik yang dapat menjadi ukuran
bagi kredibilitas dan akuntabilitasnya.
Kedua sisi administrasi pembangunan tersebut
akan dibahas lebih lanjut dalam bab – bab berikutnya.
Namun sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjut
perlu kiranya diketengahkan dua aspek penting dalam
administrasi pembangunan, yaitu aspek atau dimensi ruang
(spatial dimension of development administration) dan
kebijaksanaan publik.
Dimensi Spesial dalam Administrasi Pembangunan
Pembangunan suatu abngsa yang jumlah
penduduknya besar dan wilayahnya luas pada dasarnya
dilakukan melalui tiga pendekatan yakni pembangunan
makro, sektoral dan regional. Pembangunan makro
mencakup sasaran – sasaran dan upaya – upaya pada
lingkup nasional, yang pencapaiannya merupakan hasil
dari upaya – upaya pada tingkat sektoral dan regional
(Kartasasmita, 1996d). Ketiga pendekatan tersebut
mempunyai implikasi administratif yang berbeda, sesuai
lingkup dan kewenangan amsing – masing dalam rangka
penyelenggaraan negara dan pembangunan. Dari sisi inilah
dimensi ruang dan daerah menajdi penting artinya dalam
administrasi pembangunan dan administrasi pembangunan
daerah menjadi penting dalam rangka pembangunan
nasional.
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam
administrasi pembangunan memiliki cara pandang atau
pendekatan (Heaphy, 1971). Cara pandang pertama
menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam
perencanaan pembangunan adalah perencanaan
pembangunan bai suatu kota, daerah, ataupun wilayah.
Pendekatan ini memandang kota, daerah, atau wilayah
sebagi suatu maujud (entity) bebas yang
pengembangannya tidak terikat dgh kota, daerah, atau
wilayah lain,s ehingga penekanan perencaanaanya
mengikuti pola yang lepas dan mandiri (independent).
Cara pandang kedua melihat bahwa pembangunan di
daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional.
Perencanaan pembangunan daerah, dalam pednekatan ini
merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang
atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian
dari pola perencanaan pembangunan nasional. Yang ketiga
adalah cara pandang yang melihat bahwa perencanaan
pembangunan daerah adalah instrumen bagi penentuan
alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di
daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang
berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi
antar daerah.
Kebijaksanaan yang menyangkut dimensi ruang
dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak
faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi sebagaimana disebutkan diatas, juga oleh
pandangan eideologi, kemampuan sumber daya manusia
did aerah, pengelompokan wilayah, perubahan sosial, dan
lain sebagainya. Implikasi aspek ruang yang meliputi
tingkat pembangunan daerah, lokasi, mobilitas penduduk
dan penyebarannya, serta budaya daerah, memiliki
hubungan dan keterkaitan yang sangat erat dengan
pembangunan ekonomi. Untuk itu, administrasi
pembangunan, dalam kaitannuya dengan dimensi ruang
dan daerah harus dapat mencari jawaban tentang
bagaimana pembangunan dapat tetap menjaga kesaruan
dan persatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan
tanggung jawab yang cukup pada daerah dan
masyarakatnya.
Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dand aerah
yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.
Aspek pertama adalah regionalisasi atau perwilayahan.
Regionalisasi, sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek
ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan
dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh
lebih kecil dalam suatu negara. Tidak ada rumusan baku
dan pasti yang dapat digunakan dalam pengelompokan
atau penggolongan suatu wilayah. Namun, wilayah disini
umumnya dimaksudkan sebagai suatu wujud (entity)
politik dan pemerintahan,a rtinya unit – unit wilayah
pemerintah sesuai dengan tingkatannya, baik bersifat
otonom atau administratif. Unit – unit wilayah dapat
dibentuk karena alasan historis, geografis, kondisi
ekonomi[, atau latar belakang sosial budaya (Kartasasmita,
1996d). aspek kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam
penataan ruang. Tata ruang pada hakikatnya merupakan
lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisatoris
/ fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia
yang terpisah dalam ruang – ruang (Rapoport, 1980). Di
dalam tata ruang terdapat suatu distribusi dari tindakan
manusia dan kegiatannya untuk mencapai tujuan
sebagaimana dirumuskan sebelumnya. Tata ruang dalam
hal ini, menurut Wetzing (1978), merupakan jabataran dari
suatu produk perencanaan fisik, konsepsi tata rung ini
tidak hanya menyangkut suatu wawasan yang disebut
wawasan spesial, tetapi menyangkut pula aspek – aspek
non spasial atau a-spasial (Foley, 1970). Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa struktur fisiks angat ditentukan dan
dipengaruhi oleh faktor – faktor nonfisik seperti organisasi
fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan
komunitas (Porteous, 1981).
Penataan ruang secara umum memiliki pengertian
sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan,
pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang, dan
pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang
terkait satu dengan lainnya. Berdasarkan konsepsi ini,
penataan ruang dapat disebutkan secara lebih spesifik
sebagai upaya mewujudkan tata ruang yang terencana,
dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam,
lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar
lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta
pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya
manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu mendasarkan
pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar
– besarnya kemakmuran rakyat, memelihara lingkungan
hidup, dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan
keamanan. Jadi, dalam konteks ini, pengelolaan ruang
dalam dimensi administratif adalah upaya
mengoptimasikan sumber daya untuk pembangunan
(Kartasasmita, 1995d).
Aspek ketiga adalah otonomi daerah. Amsyarakat
dalam suatu negara tidak hanya tinggal dan berada di pusat
pemerintahan, tetapi juga di tempat – tempat yang jauh dan
terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan
penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar,
maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber –
sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut
tidak terjadi dan meletakkan kewenangan pada masyarakat
dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip
kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip ekonomi.
Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat did aerah menjadi lebih efektif.
Dimensi administratif yang berkaitan dengan
otonomi adalah sentralisasi. Desentralisasi pada dasarnya
adalah penataan mekanisme pengelolaan kebiajaksanaan
dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada
daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan menjadi lebih efektif dan
efisien. Desentralisasi dierminkan oleh pendelegasian
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
kepada pemerintah daerah dan hak untuk mengurus
keperluannya sendiri. Selain memberikan hak – hak
kepada daerah, desentralisasi juga menerima kewajiban –
kewajiban. Kedua aspek ini harus dapat diserasikan, dan
untuk itu administrasi pembangunan berperan dalam
menjembatani kebijaksanaan dan strategi nasional dengan
upaya – upaya pembangunan yang diselenggarakan di
daerah.
Aspek keempat adalah partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri
sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan
keputusan dilakukan sedapat – dapatnya pada tingkat yang
paling bawah (grass-root level). Dalam hal ini masyarakat,
bersama – sama dengan aparatur pemerintah, menjadi
stakeholder dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi
daris etiap upaya pembangunan. Dengan meningkatnya
pendidikan, masyarakat akan menjadi semakin terbuka,
semakin maju dan modern. Dalam kondisi seeprti ini,
masyarakat tidak akan puas dengan hanya mendegar dan
melaksanakan petunjuk, tetapi juga ingin ikut
berpartisipasi dalam pembangunan dan menentukan nasib
mereka sendiri. Pembangunan yang memberi kesempatan
dan bertumpu pada masyarakat telah menjadi paradigma
pembangunan yang memang relatif baru, namun sekarang berkembang dan dianut oleh para pakar seperti terungkat
dalam banyak kepustakaan mengenai studi pembangunan
(Kartasasmita, 1996b).
Aspek kelima, sebagai implikasi dari dimensi
administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan
dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman
dalam kebijaksanaan (policy diversity). Dari segi
perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu
daerah berbeda dengan daerah lainnya. Tak ada satu pun
daerah yang memiliki karakteristik yang sama, baik dari
potensi ekonomi, sumber daya manusia, maupun
kelembagaan masyarakatnya. Disamping itu, premis
bahwa pemerintahan di daerah lebih mengetahui
permasalahan daerahnya semakin menguat. Dalam
kerangka ini, kebijaksanaan yang bersifat nasional harus
luwes (flexible), agar aparat pemerintah dibawahnya dapat
mengembangkan dan memodifikasi kebijaksanaan tersebut
sesuai dengan kondisi masing – masing wilayah (Heaphy,
1971). Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami
karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi
pembangunan di daerah terutama dalam kebijaksanaan
investasi sarana dan prasarana guna merangsang
berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.
Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi
Pembangunan
Kebijaksanaan publik (public policy) merupakan
bidang kajian yang berkembang pesat pada dasawarsa
(1980-an. Bidang kajian ini, yang oleh banyak ahli
dipandang sebagai suatu subdisiplin atau sub-field,
menjadi bidang kajian ilmu administrasi dan ilmu politik,
bahkan oleh Henry (1995) diidentifikasi sebagai berada di
antara (twilight zone) kedua disiplin ilmu itu. Ilmu
ekonomi, khususnya ekonomi politik juga mempunyai
kontribusi yang kuat pada studi kebijaksanaan.
Kebijaksanaan atau policy berkembang sebagai
bidang studi multidisiplin, sehingga sering disebut sebagai
policy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan
publik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyak
perahtian dan menjadi kajian dalam berbagai disiplin ilmu
sosial. Analisis kebijaksanaan (policy) analysis) selain
merupakan metode untuk memahami apa dan bagaimana
kebijaksanaan terjadi, juga menyediakan alat yang
bermanfaat bagi para praktisi yang terlibat dalam proses
kebijaksanaan.
Pengertian
Banyak pengertian diberikan kepada
kebijaksanaan publik. Dilihat dari berbagai disiplin dapat
muncul berbagai pengertian. Di antaranya dikemukakan
oleh Dye (1995), Eulau dan Prewitt (1973) dan Peters
(1993). Menurut Dye (1995) kebijaksanaan publik adalah
apa saja yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh
pemerintah. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan merupakan
upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang
dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah
mengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkan atau
yang mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dan dampak
dari kebijaksanaan publik tersebut. Eulau dan Prewitt
(1973) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai sebuah
“ketetapan yang berlaku” yang dicirikan oleh perilaku
yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya
maupun yang menaatinya. Sedangkan Peters (1993)
mengartikan kebijaksanaan publik sebagai total kegiatan
pemerintah, baik yang dilakukan langsung atau melalui
pihak lain, yang berpengaruh pada kehidupan penduduk di
negara itu.
Analisis kebijaksanaan adalah upaya
menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang
dibutuhkan untuk suatu kebijaksanaan, dengan
menggunakan berbagai metode penelitian dan pembahasan
dalam suatu kondisi tertentu untuk menyelesaikan masalah
(Dunn, 1981). Analisis kebijaksanaan publik dengan
demikian lebih banyak memberi perhatian kepada teknik
yang dapat digunakan untuk menganalisis dan
mengevaluasi kebijaksanaan, dalam kaitannya dengan
masukan (input), keluaran (outpuT0, hasil, pengorbanan,
dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kebijaksanaan
publik (Waldo, 1992), dan bukan pada substansi dari
kebijaksanaan itu sendiri.
Oleh karena itu, banyak yang menganggap bahwa
kebijaksanaan publik lebih dekat kepada administrasi
negara dibandingkan dengan ilmu politik. Bahlan Eulau
menyatakan bahwa studi kebijaksanaan sebenarnya
hanyalah “administrasi negara lama dalam baju yang
diperbaharui” (dalam Goodin, 1982). Henry menunjukkan
bahwa kebijaksanaan publik dari segi politik lebih banyak
memberikan perhatian kepada substansi (substantive
branch) dibandingkan dengan administrasi negara yang
lebih memperhatikan masalah – masalah perancangan,
pilihan, pelaksanaan, evaluasi, efisiensi, efektivitas,
produktivitas, dan hal – hal lain yang tidak berkenaan
dengan isi dari kebijaksanaan itu sendiri (theoritical
branch). Meskipun sebenarnya ilmu politik pun mengkaji
kebijaksanaan publik sebagai analisis yang bersifat
deskriptif dengan membedakannya dengan substansi yang
disebutnya policy advocacy yang bersifat preskriptif.
Policy analysis mempersoalkan mengapa, sedangkan
policy advocacy mempersoalkan apa yang harus dilakukan
pemerintah (Dye, 1995). Namun, asumsi yang mendasar
adalah bahwa dengan mengetahui berbagai daya
(kekuatan) yang membentuk kebijaksanaan dan
dampaknya, maka kebijaksanaan yang diambil akan lebih
baik, dalama rti bisa menghasilkan apa yang dikehendaki
dengan kebijaksanaan tersebut secara lebih tepat, efisien,
dan efektif.
Berbagai pandangan tersebut dikemukakan untuk
lebih memperjelas bahwa bidang studi ini berada di antara
kedua disiplin yang besar itu, bahkan juga diliput secara
kuat oleh ilmu ekonomi. Ekonomi politik, dan ekonomi
perencanaan, merupakan kajian ekonomi atas tindakan –
tindakan atau kebijaksanaan pemerintah dalam
mempengaruhi jalannya perekonomian. Dalam kaitan ini
pilihan masyarakat (public choice) merupakan telaah yang
penting dalam ekonomi, supaya pilihan yang ditetapkan
(sebagai kebijaksanaan) benar – benar mencerminkan
pilihan masyarakat. Yang diupayakan adalah kondisi
pareto Optimum, yaitu keadaan di mana perbaikan
ekonomi untuk menguntungkan seseorang tidak dapat
dilakukan tanpa merugikan orang lain, karena keadaannya
sudah optimal.
Namun, bagaimana pun juga kebijaksanaan publik
merupakan bidang kajian yang makin penting dalam
administrasi negara, bahkan oleh Golembiewski (1977)
dianggap sebagai menandai fase perkembangannya yang
paling mutakhir. Semua administrasi negara berdiri netral
dalam kebijaksanaan publik, yang dianggap sebagai urusan
disiplin ilmu lain. Namun, dengan berkembangnya studi
mengenai analisis kebijaksanaan dan proses kebijaksanaan
itu sendiri, maka peranan administrasi negara telah
direevaluasi dalam kaitannya dengan kebijaksanaan publik
(Rosenbloom et al, 1994). Caiden (1991).
Memformulasikan bahwa kebijaksanaan publik produk
administrasi negara sebagai alat untuk mempengaruhi
kinerja pemerintah dalam mengemban amanat untuk
kepentingan publik.
Metode Pendekatan
Berbagai metode pendekatan dalam analisis
kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada
pendekatan deskriptif vs preskriptif, ada pula pendekatan
deterministik vs probabilistik dilihat dari derajat
kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan
pednekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dan
normatif (Dunn, 1981). Robert Goodin,s eorang pakar ilmu
politik mendekati dengan teori empiris dan teori etis atau
teori nilai. Pendekatan ini sangat tipikal ilmu politik
seperti ditunjukkan oleh Henry diatas.
Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan
publik, Dye menunjukkana danya sembilan model, yakni
model institusional, proses, kelompok, elite, rasional,
inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik
(public choice), dan sistem. Henry lebih lanjut membagi
modelnya dalam dua kelompok, yakni sebagai proses dan
sebagai keluaran (outpu). Sebagai proses ia
menggolongkan enam model, yakni model elite,
kelompok, sistem, institusional, neo-institusional, dan
anarki yang diatur (organized anarchy). Dari segi output, ia
mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional dan
perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat
deskriptif,s edangkan pendekatan output lebih bersifat
preskriptif. Preskriptif dimaksudkan bahwa dengan
pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari
kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula. Bukan
maksudnya disini untuk membahas model – model
tersebut. Yang patut dicatat adalah bahwa banyak
kebijaksanaan tidak dapat dijelaskan hanya melalui satu
model, tetapi merupakan gabungan dari berbagai model.
Perhatian dalam kebijaksanaan publik banyak
diberikan kepada proses penetapan kebijaksanaan.
Pembuatan kebijaksanaan pada umumnya adalah sebuah
proses yang dilakukan melalui tahap – tahap tertentu. Pada
garis besarnya proses tersebut dikenali sebagai berikut :
pengenalan masalah, penetapan agenda, perumusan
kebijaksanaan, pengukuhan (legitimation), pelaksanaan
dan evaluasi (Dye, 1995). Jones menguraikannya lebih
rinci, meliputi 11 tahapan atau rangkaian kegiatan dalam
proses, yakni : pemahaman, penghitungan (aggregation),
pengorganisasian, perwakilan, penetapan agenda,
perumusan, pengukuhan, pendanaan, pelaksanaan,
evaluasi, penyesuaian atau penyelesaian (penghentian).
Meskipun lebih rinci, unsur – unsur pokoknya tidak
banyak berbeda dengan pandangan Dye diatas.
Kebijaksanaan Publik dan Pembangunan
Seperti dikemukakan diatas, kebijaksanaan publik
dapat dilihat dari (1) mengapa dan bagaimana (why dan
how), yang mencoba memahami “bekerjanya”
kebijaksanaan publik tanpa terkait dengan isinya, dan (2)
apa (what), yang memberi perhatian pada substansi
kebijaksanaan publik dan mencari pemecahan atas masalah
yang dihadapi kebijaksanaan publik.
Dalam konteks pembahasan ini, dan dalam studi –
studi kebijaksanaan publik, pengetahuan mengenai
keduanya memang diperlukan. Para pengambil
kebijaksanaan yang tidak memahami metodologi
penetapan kebijaksanaan publik, dapat menanggung resiko
mengambil pendekatan yang menyebabkan hasil atau
dampak kebijaksanaan publik tidak sesuai dengan yang
dimaksud. Sebaliknya, para pelajar dan praktisi yang ingin
mendalami pengetahuan mengenai berbagai aspek
kebijaksanaan, tidak mungkin hanya membatasi diri pada
teknik analisis, tanpa mengetahui isu – isu yang dihadapi
dalam masyarakat, yang akan dijawab dan diatasi dengan
berbagai kebijaksanaan. Karena, meskipun Dye
menyatakan tidak perlu kebijaksanaan publik itu
mengandung tujuan yang rasional (bahkan tidak
mengambil langkah apapun sudah menunjukkan
kebijaksanaan), namun dalam praktiknya untuk setiap
kebijaksanaan publik harus jelas apa yang ingin dihasilkan.
Di negara berkembang kebijaksanaan
pembangunan menjadi pokok substansi (policy content) kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semua
negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya
mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan
kegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik,
menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya.
Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik
negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap
ada perbedaan di antara keduanya. Pertama – tama
disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda, dan
juga karena adanya kegiatan pembangunan di negara
berkembang yang merupakan kegiatan diatas dari yang
“biasa” dilakukan oleh pemerintah di negara maju. Adanya
sistem administrasi negara yang mampu
menyelenggarakan pembangunan menjadi prsyarat bagi
berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi
negara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan –
kebijaksanaan publik yang “baik”, dan mendorong
“kepentingan umum”, merupakan tantangan yang lebih
besar bagi negara yang sedang membangun (Grindle dan
Thomas, 1991).
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai
kebijaksanaan publik dan berbagai aspeknya perlu dimiliki
oleh para pelajar administrasi pembangunan. Yang amat
penting adalah mempelajari dan memahami kondisi
lingkungan kebijaksanaan publik di negara berkembang,
yang berbeda dengan di negara – negara maju dan
mempengaruhi kebijaksanan, berfungsinya administrasi
pembangunan di negara berkembang, serta proses
penetapan kebijaksanan publik untuk pembangunan (lihat
Kartasasmita, 1995b).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar